Sale Pisang atau Pisang Rimpi dikenal sebagai Produk Khas Batu Ampar
Oleh: Mahmuda
Pukul 8 pagi. Saya bertolak dari Dermaga Batu Ampar menuju ke Padang
Tikar dengan mengendarai motor air. Akses menuju ke Padang Tikar dari
Batu Ampar sangat terbatas. Hanya ada 1 motor air yang menuju ke desa
itu.
Sebut saja Pak Ahmad, pemilik motor air. Tiap hari ia bertolak dari
Dermaga Batu Ampar. Lama perjalanan kurang lebih 3 jam dengan
menggunakan kecepatan sedang. Menurutnya, bisa saja ia melaju dengan
kecepatan tinggi, namun resikonya adalah bensin boros. Untuk tarif yang
dipasang Pak Ahmad, perorangnya Rp. 35 ribu.
Pak Ahmad keturunan campuran. Ayahnya orang Bugis, ibunya orang Cina.
Meskipun begitu namun ia tidak mahir berbahasa Bugis. Justru ia mahir
berbahasa Cina.
Sebelum berangkat, saya sempat berkomunikasi dengannya. Duduk di kursi warung kopi di pinggir sungai dekat dermaga Batu Ampar.
Di pasar, saya melihat banyak sekali orang menjual Pisang Salai.
Warnanya hitam. Dibungkus dengan plastik transparan. Kata Pak Ahmad, di
sini memang banyak pengrajin Pisang Salai. Yang biasa membuat Pisang
Salai adalah orang Jawa di Batu Ampar. Pisang Salai ini bisa langsung
dikonsumsi, namun bisa juga diolah kembali dengan digoreng.
Saya teringat dengan Selai Pisang dari negeri parahyangan, Bogor.
Warnanya hampir mirip dengan Pisang Salai Batu Ampar. Hanya saja
prosesnya pembuatannya berbeda. Selai Pisang Bogor diproses dengan cara
pisangnya dijemur di atas terik matahari. Setelah itu baru digoreng
dengan tepung. Pisang yang digunakan bisa pisang Kepuk dan pisang
Tanduk.
Sedangkan Pisang Salai prosesnya disalai, atau dipanggang hingga
warnanya berubah menjadi agak kehitam-hitaman. Bahan dasarnya yaitu
pisang Awak. Di Batu Ampar, pisang ini tumbuh subur. Karena saking
melimpahnya pisang ini, hingga diolah menjadi pisang salai agar memiliki
nilai jual tinggi.
Di motor Pak Ahmad, tidak hanya kami berdua. Tak jauh dari dermaga
Batu Ampar, Pak Ahmad singgah di salah satu rumah yang letaknya di
pinggir sungai. Menjemput seorang penumpang perempuan. Umurnya sekitar
25-an. Setelah itu motor airnya pun melaju dengan perlahan menuju ke
Padang Tikar. Pukul setengah 12 siang motor air Pak Ahmad merapat di Pelabuhan
Padang Tikar. Beberapa ojek pun silih berganti menawarkan jasanya kepada
saya. Saya pun memilih seorang ojek yang umurnya kira-kira sepantaran
dengan saya.
Tujuan saya langsung ke Puskesmas Padang Tikar. Sampai di Puskesmas
itu, ada 2 orang yang tengah bertugas di hari Minggu (3/11) itu.
Meskipun hari libur Puskesmas itu tetap buka. Pasalnya ada pasien yang
sedang menjalani rawat inap. Yang berjaga saat itu adalah seorang
perawat yang tengah hamil. Perutnya sudah membesar. Mungkin karena takut
terjadi apa-apa, suaminya pun ikut berjaga di Puskesmas itu. Saya pun menanyakan bidan yang saya cari. Kata perawat itu, bidannya
berada di rumah dinas, letaknya di Puskesmas lama. Sang tukang ojek pun
setia menemani saya ke rumah yang dimaksud. Namun saat itu saya kurang
beruntung. Bu Bidan yang dicari justru pulang ke Pontianak. Alhasil saya
kembali ke puskesmas itu.
Meskipun masih kekurangan data yang saya cari, namun setidaknya saya bisa menemui bidan tersebut di Pontianak keesokan harinya. Di sela-sela perjalanan menuju ke Pelabuhan Padang Tikar. Saya dan
tukang ojek itu sempat mengobrol ringan. Terutama mengenai pekerjaan
orang di desa itu. Katanya, mayoritas warga Desa Padang Tikar
pekerjaannya adalah nelayan, ada juga yang berkebun kelapa. Hal itu
memang jelas. Beberapa kali mata saya menemukan motor air yang
mengangkut kelapa kopra. Selain itu ada juga yang menjemur udang ebi di
depan rumahnya.
Udang ebi di Desa Padang Tikar harganya lumayan murah. Harga
perkilonya untuk kelas A, berkisar 80 ribuan. Sedangkan yang B berkisar
60 ribuan. Jika di Pontianak, harga udang ebi, selisih antara Rp. 20-30
ribu dari harga di Desa Padang Tikar. Sarana jalan di desa ini sudah lumayan bagus. Jalan desa sebagian
sudah diaspal, sebagian lagi masih dalam perbaikan. Sebelumnya jalan di
desa ini hanya jalan semen, itu pun sudah banyak yang rusak. Menurutnya
perbaikan jalan ini ada sejak masa kepemimpinan Bupati Kubu Raya Muda
Mahendrawan, yang tak lama lagi digantikan Rusman Ali.
Selain itu untuk menuju ke Pontianak, sudah bisa melewati jalan
darat. Meskipun harus menyeberang terlebih dahulu dari Desa Padang Tikar
ke Dabong dengan Motor Air. Penyeberangan itu kurang lebih 45 menit.
Sampai di Dabong perjalan darat dilanjutkan menuju ke Air Putih, hingga
ke penyeberangan Rasau. Dari Dabong ke Rasau kurang lebih 3 jam
menggunakan motor darat.
Sedangkan jika menggunakan motor air, dari Pelabuhan Padang Tikar
harus pergi ke Dermaga Batu Ampar. Setelah itu transit dengan
menggunakan motor air menuju ke dermaga Rasau atau Pelabuhan Seng Hei.
0 comments:
Post a Comment